This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 07 Juni 2021

Pajak orang super kaya bakal naik, bagaimana kejelasannya?


Sri Mulyani
Menteri Keuangan RI

Oleh: Rio septiawan (1902056066)

Dimasa pandemi covid 19 ini pemerintah terus berupaya dalam menjaga kesetabilan ekonomi nergara, salah satunya dengan mencuatnya digodoknya peraturan untuk menaikkan pajak bagi para konglomerat, orang "super kaya" dinegara ini
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sedang mengkaji kenaikan pajak penghasilan (pph) bagi orang kaya, yaitu bagi mereka yang berpenghasilan lima miliar setahun akan dikenakan pph 35% yang sebelumnya 30%

Hal ini dilakukan  dalam rangka  melakukan reformasi pajak, menciptakan keadilan sosial bagi rakyat indonesia, dan mengurangi kesenjangan sosial diIndonesia

Rencananya kenaikan pajak penghasilan bagi orang kaya akan tertuang dalam  perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sudah diagendakan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2021

Tarif pph adalah bersifat progresif atau tidak tetap tergantung dengan nilai dari tarif pajak yang dibebankan kepada wajib pajak,akan semakin besar pajak sesoranf tergantung dari nilai penghasilan kena pajak (PKP)

Sumber:

Pajak Orang Super Kaya Bakal Naik, Simak Rincian Tarif PPH yang Berlaku Saat Ini

Baca juga :















Rabu, 17 Maret 2021

Sumber Hukum Praperadilan Perpajakan

Sumber hukum praperadilan perpajakan yaitu:

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu UU Nomor 8 Tahun 
1981 (KUHAP)

Praperadilan dalam KUHAP adalah  upaya 
penggunaan upaya paksa dalam proses penyidikan atau penuntutan serta akibat hukum 
yang timbul darinya. Pasal 77 KUHAP yang dikenal sebagai ketentuan yang mengatur 
tentang praperadilan sebagai ditegaskan dalam Pasal 78 KUHAP menyebutkan 
sebagai berikut:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau 
penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya 
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”

Pasal 1 angka 10 KUHAP  
 berbunyi  sebagai berikut:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan 
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka atau 
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ats 
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau keluarganya 
atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusansusan MK)

Sepanjang 2003 hingga saat ini,  banyak masyarakat mengajukan 
permohonan Uji Materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait 
adanya pasal-pasal dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 
(KUHAP) yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945). Sebagian 
pasal yang diuji materi-kan ke MK ada yang ditolak, namun ada juga yang diterima 
oleh MK sehingga beberapa pasal mengalami perubahan makna yang tentu berdampak 
pada penerapannya. Berikut pasal-pasal KUHAP yang pernah diajukan uji materi ke 
MK dan putusannya:

1.  Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP (Putusan MK No.65/PUU-VIII/2010)

Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat 
sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan 
keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak 
pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”

2. Pasal 83 ayat 2 KUHAP (Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011)

Pasal 83 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1)
adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke
pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”
Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan 
mengikat lagi.

3. Pasal 80 KUHAP (Putusan MK No. 98/PUU-X/2012)

Pasal 80 KUHAP dinyatakan inkonstitusional sepanjang frase “pihak ketiga
yang berkepentingan” tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, 
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat”.

4. Pasal 244 KUHAP (Putusan MK No. 114 /PUU-X/2012)

Pasal 244 KUHAP berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas”.
Oleh MK, frase “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP 
dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

5. Pasal 18 ayat 3 KUHAP (Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013)

Pasal 18 ayat 3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frase “segera” 
tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 hari”.

6. Pasal 268 ayat 3 KUHAP (Putusan MK No. 23/PUU-XI-2013)

Pasal 268 ayat 3 KUHAP berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali atas
suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.”
Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan 
mengikat lagi.

7. Pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP (Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013)

Pasal 197 ayat 1 huruf I KUHAP inkonstitusional sepanjang diartikan “surat 
putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf I 
mengakibatkan putusan batal demi hukum”
Pasal 197 ayat 2 KUHAP diubah menjadi “tidak dipenuhinya ketentuan dalam 
ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi 
hukum.

8. Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 dan Pasal 77 KUHAP tentang Bukti

Permulaan (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014)
yang diputus adalah tentang tafsir bukti permulaan, 
bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam rangka penetapan 
tersangka

9. Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP (Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015)

Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “suatu 
perkara sudah dimulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan 
gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang 
pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”

10. Pasal 109 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015) Pasal 109 

ayat 1 KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “penyidik memberitahukan hal 
tersebut kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib 
memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan 
kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling 
lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

11. Pasal 263 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016)

Pasal 263 ayat 1 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang 
dimaknai “memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak 
hukum lainnya untuk mengajukan peninjauan kembali kepada makhkamah 
agung dan peninjauan kembali oleh pihak selain terpidana dan ahli warisnya 
tidak batal demi hukum”.
Dengan kata lain, Peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau 
ahli warisnya (Penuntut Umum atau penegak hukum lain tidak dapat 
mengajukan PK), dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas 
dari segala tuntutan hukum.

12. Pasal 197 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016)

Pasal 197 ayat 1 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frase 
“surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan 
pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”.

Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 (PERMA 4/2016) tentang 
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

Peraturan Mahkamah Agung ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor 
21/PUU-XII/2014 yang memperluas kewenangan Praperadilan yang sebelumnya 
hanya sebatas pada ketentunan Pasal 77 huruf a KUHAP. Selain itu, Putusan 
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011) menghapus pemberian hak 
banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat 
(20 KUHAP sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapa lagi diajukan upaya 
hukim banding. Juga sebagai dasar hukum disebutkan Undang-Undang 8 Tahun 1981 
tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan 
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, 
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam peraturan Mahkamah Agung ini disebutkan bahwa yang menjadi obyek 
praperadilan adalah:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau 
penghentina penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan
b. Ganti kerugian dana tau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya 
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan

UU Mahkamah agung

Pasal 45A Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas 
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan 
diajukan kasasi terhadap putusan Praperadialan.

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP)

UU KUP merupakan undang-undang yang 
multidimensi karena di dalamnya juga mengatur tentang hukum adminsitrasi 
perpajakan, tindak pidana pajak dan sanksinya. 
beberapa pasal tambahan sebagai lex specialis diatur pada uu ini , khususnya yang terkait dengan 
penyidikan. Penyidikan sendiri diaur dalam Bab IX yang terdiri dari Pasal 44 yang di 
dalamnya ada 4 ayat. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa penyidikan dalam tindak 
pidana pajak dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan 
Direktorat Jendera Pajak (DJP). Sedangkan kewenangan PPNS di lingkungan DJP 
tidak jauh berbeda dengan kewenangan penyidik yang diatur di dalam KUHAP. 
Meskipun demikian dalam Pasal 1 ayat (3) dalam menyampaikan asil penyidikan 
dugaan tindak pidana pajak, PPNS DJP tidak bisa lengsung mengirimkannya ke 
Penuntut Umum, tetapi harus melalui Penyidik Polri. Perbedaan lain yang diatur 
dalam UU KUP adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 44 B serta 
Pasal 1 ayat 27.
Berikut ini dijelaskan beberapa pasal yang mengatur tentang hukum pidana 
formil pajak:
Pasal 8 ayat (3)
Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum 
dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenran yang dilakukanbayar
Pajak, terhadap ketikdakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan 
penyidikan, apabila:
1. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran 
perbuatannya;
2. Wajib Pajak membayar kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya 
terutang dan
3. Wajib Pajak membayar sanksi adimistrasi berupa denda sebesar 150 persen 
dari jumlah pajak yang kurang bayar


Baca juga: