Sumber Hukum Praperadilan Perpajakan
Sumber hukum praperadilan perpajakan yaitu:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu UU Nomor 8 Tahun
1981 (KUHAP)
Praperadilan dalam KUHAP adalah upaya
penggunaan upaya paksa dalam proses penyidikan atau penuntutan serta akibat hukum
yang timbul darinya. Pasal 77 KUHAP yang dikenal sebagai ketentuan yang mengatur
tentang praperadilan sebagai ditegaskan dalam Pasal 78 KUHAP menyebutkan
sebagai berikut:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”
Pasal 1 angka 10 KUHAP
berbunyi sebagai berikut:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ats
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitas oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusansusan MK)
Sepanjang 2003 hingga saat ini, banyak masyarakat mengajukan
permohonan Uji Materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait
adanya pasal-pasal dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945). Sebagian
pasal yang diuji materi-kan ke MK ada yang ditolak, namun ada juga yang diterima
oleh MK sehingga beberapa pasal mengalami perubahan makna yang tentu berdampak
pada penerapannya. Berikut pasal-pasal KUHAP yang pernah diajukan uji materi ke
MK dan putusannya:
1. Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP (Putusan MK No.65/PUU-VIII/2010)
Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat
sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan
keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak
pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”
2. Pasal 83 ayat 2 KUHAP (Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011)
Pasal 83 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1)
adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke
pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”
Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat lagi.
3. Pasal 80 KUHAP (Putusan MK No. 98/PUU-X/2012)
Pasal 80 KUHAP dinyatakan inkonstitusional sepanjang frase “pihak ketiga
yang berkepentingan” tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat”.
4. Pasal 244 KUHAP (Putusan MK No. 114 /PUU-X/2012)
Pasal 244 KUHAP berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas”.
Oleh MK, frase “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP
dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
5. Pasal 18 ayat 3 KUHAP (Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013)
Pasal 18 ayat 3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frase “segera”
tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 hari”.
6. Pasal 268 ayat 3 KUHAP (Putusan MK No. 23/PUU-XI-2013)
Pasal 268 ayat 3 KUHAP berbunyi: “Permintaan peninjauan kembali atas
suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.”
Oleh MK pasal ini dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat lagi.
7. Pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP (Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013)
Pasal 197 ayat 1 huruf I KUHAP inkonstitusional sepanjang diartikan “surat
putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf I
mengakibatkan putusan batal demi hukum”
Pasal 197 ayat 2 KUHAP diubah menjadi “tidak dipenuhinya ketentuan dalam
ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
8. Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 dan Pasal 77 KUHAP tentang Bukti
Permulaan (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014)
yang diputus adalah tentang tafsir bukti permulaan,
bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam rangka penetapan
tersangka
9. Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP (Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015)
Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “suatu
perkara sudah dimulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan
gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang
pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.”
10. Pasal 109 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015) Pasal 109
ayat 1 KUHAP inkonstitusional sepanjang frase “penyidik memberitahukan hal
tersebut kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib
memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan
kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
11. Pasal 263 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016)
Pasal 263 ayat 1 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang
dimaknai “memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum atau penegak
hukum lainnya untuk mengajukan peninjauan kembali kepada makhkamah
agung dan peninjauan kembali oleh pihak selain terpidana dan ahli warisnya
tidak batal demi hukum”.
Dengan kata lain, Peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau
ahli warisnya (Penuntut Umum atau penegak hukum lain tidak dapat
mengajukan PK), dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas
dari segala tuntutan hukum.
12. Pasal 197 ayat 1 KUHAP (Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016)
Pasal 197 ayat 1 KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frase
“surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan
pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat”.
Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 (PERMA 4/2016) tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan
Peraturan Mahkamah Agung ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor
21/PUU-XII/2014 yang memperluas kewenangan Praperadilan yang sebelumnya
hanya sebatas pada ketentunan Pasal 77 huruf a KUHAP. Selain itu, Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-IX/2011) menghapus pemberian hak
banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat
(20 KUHAP sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapa lagi diajukan upaya
hukim banding. Juga sebagai dasar hukum disebutkan Undang-Undang 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam peraturan Mahkamah Agung ini disebutkan bahwa yang menjadi obyek
praperadilan adalah:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentina penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan
b. Ganti kerugian dana tau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
UU Mahkamah agung
Pasal 45A Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menentukan larangan
diajukan kasasi terhadap putusan Praperadialan.
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP)
UU KUP merupakan undang-undang yang
multidimensi karena di dalamnya juga mengatur tentang hukum adminsitrasi
perpajakan, tindak pidana pajak dan sanksinya.
beberapa pasal tambahan sebagai lex specialis diatur pada uu ini , khususnya yang terkait dengan
penyidikan. Penyidikan sendiri diaur dalam Bab IX yang terdiri dari Pasal 44 yang di
dalamnya ada 4 ayat. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa penyidikan dalam tindak
pidana pajak dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan
Direktorat Jendera Pajak (DJP). Sedangkan kewenangan PPNS di lingkungan DJP
tidak jauh berbeda dengan kewenangan penyidik yang diatur di dalam KUHAP.
Meskipun demikian dalam Pasal 1 ayat (3) dalam menyampaikan asil penyidikan
dugaan tindak pidana pajak, PPNS DJP tidak bisa lengsung mengirimkannya ke
Penuntut Umum, tetapi harus melalui Penyidik Polri. Perbedaan lain yang diatur
dalam UU KUP adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 44 B serta
Pasal 1 ayat 27.
Berikut ini dijelaskan beberapa pasal yang mengatur tentang hukum pidana
formil pajak:
Pasal 8 ayat (3)
Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum
dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenran yang dilakukanbayar
Pajak, terhadap ketikdakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila:
1. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
perbuatannya;
2. Wajib Pajak membayar kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dan
3. Wajib Pajak membayar sanksi adimistrasi berupa denda sebesar 150 persen
dari jumlah pajak yang kurang bayar
Baca juga: